Tag Archives: imperium

King’s Speech: Imperium Inggris dan Kegagapan Raja

Gembar-gembor piala oscar ternyata memang benar, King’s Speech, yang mengantongi sejumlah penghargaan diajang bergengsi itu, memang patut diacungi jempol. Penghayatan karakter King George VI yang diperankan oleh aktor Colin Firth sungguh mengharukan. Helena Bonham Carter juga telah berhasil memerankan arogansi tipikal aristokrat Inggris (sesukses perannya dalam “Red Queen” difilm Alice in Wonderland). Satu aktor kawakan lainnya adalah Geoffrey Rush yang sangat apik memainkan peran sebagai terapis bahasa. Peran aktor yang terakhir ini juga sedahsyat aksinya sebagai Marquis de Sade di film the Quill. Walaupun saya kurang tertarik menonton film bergenre drama, King’s Speech ((selanjutnya disebut KS-bukan merek kecap) telah menyita waktu saya selama 3 hari (dihitung dengan waktu downloadnya 😀 ).

Adapun kisahnya, menurut saya sangat linguistik. Pertama, film ini menyodorkan fenomena gangguan bicara yang disebut sebagai stammering atau stutering (gagap). Bagi komedian, mungkin kekurangan ini bisa menghadirkan setumpuk uang, akan tetapi, bagi seorang pangeran dari imperium yang pada masa jayanya menguasai seperempat bagian dari belahan bumi, tentu saja kekurangan ini berarti petaka. Kedua, metode psikoanalisis didalam linguistik terapan yang diperagakan oleh Lionel, sang penasehat pidato (speech advisor) dari King Heorge VI. Dan ketiga, film ini menggambarkan bagaimana bahasa (dalam bentuk retorika) dapat mengguncang dunia.

Stammering atau kegagapan didalam kajian bahasa umumnya dibahas dibidang psycholinguistics. Bidang ilmu ini mempelajari hubungan antara organ bahasa (language devices) dan perangkat mental (mental aparatus). Prince Albert/King George VI/Berty merupakan representasi dari orang yang memiliki gangguan bicara karena adanya represi psikologis sehingga mengakibatkan terhambatnya penyampaian pikirannya lewat ucapan. Tidak hanya dalam berpidato, Berty juga mengalami kesulitan dalam melafalkan teks yang dibacanya. Didalam situasi komunikasi personal antar individual, kekurangan ini tidak begitu mengemuka, akan tetapi muncul begitu hebat ketika masuk keruang publik. Penyebab-penyebab dari gangguan bicara ini juga diulas didalam film tersebut yaitu adanya koreksi pembetulan ucapan, tindakan, dan pikiran Berty semasa kecil oleh ayahnya, King George V. Koreksi ini berlangsung sejak Berty berumur 4-5 tahu dan terus terjadi hingga King George V meninggal.

Sebab lain dari kegagapan Berty adalah tidakan pelecehan yang dilakukan oleh kakaknya, Edward sedari kecil. Tindakan ini didalam ilmu kependidikan disebut bullying yang mengindikasikan adanya subordinasi satu pihak atas pihak lain. Tindakan bully yang dilkukan edward berbetuk penganiayaan (mencubit/puinching) atas berty setiap kali mereka erdua bertemu dengan ayahnya. Tindakan bullying itu terus berlangsung hingga berty beranjak dewasa dengan bentuk yang berbeda, Edward mengimitasi kegagapan Berty, B-B-B-e-r-r-t-t-t-y-y. Kasih sayang pengasuhnya yang lebih besar pada kakaknya, Edward, juga turut mengcilkan kepribadian Berty.

Penyebab-penyebab tadi merepresi kepercayaan diri Berty, tidak hanya sepanjang masa kecil dan masa remajanya, akan tetapi juga masa dewasanya. Sosok berty memberi gambaran bahwa gangguan bicara tidak hanya dikarenakan oleh gangguan organ bicara secara fisik (lidah, mulut, gigi, dll) akan tetapi juga bisa dikarenakan gangguan psikis (mental). Tokoh berty juga menjadi contoh kegagalan orang tua didalam membesarkan kepercayaan diri anak melalui proses koreksi terus menerus. Rasanya hal ini bisa dimaklumi mengingat setting cerita film tersebut adalah keluarga aristokrat Inggris dimana sejak kelahirannya seorang anak sudah memikul beban sebagai calon penguasa. Dari sisi ini, dapat dilihat bagaimana King George V berusaha keras untuk mendidik dan menjadikan anaknya  sebagai bahian keluarga aristokrat penguasa dunia, walaupun dengan cara yang kurang bijak. Apakah Berty memiliki ketidakpercayaan diri secara menyeluruh? Saya rasa tidak. Dia telah memiliki visi atas kekuasaan keluarganya dipanggung politik internasional dan dilihat dari sikapnya, ia lebih arif dibanding kakaknya yang hedonis. Berty hanya memiliki kekurangan dalam menyampaikan gagasannya kepada orang lain.

Gangguan bicara pada berty ini lalu “diobati” oleh seorang terapis bahasa, Linoel. Karakter ini bukanlah ahli bahasa dan juga bukan seorang psikiater. Dia belajar “menyembukan” gangguan bicara berdasarkan pengalaman. Jika ditelusuri setting waktu film ini, 1925-1936, tentu saja kajian linguistik terapan belum lagi berkembang. Metode penyembuhan Lionel ini lebih dekat dengan psikoanalisis ketimbang pendekatan linguistik terapan. Dia berusaha membuka “tabir” yang mengakibatkan Berty tak dapat berkata-kata dengan lancar. Lionel menyadari, ketika ia meminta berty membacakan soloqui To be or not to be-nya William Shakespeare. Tanpa mendengarkan suaranya sendiri, ternyata Berty mampu berkata-kata dengan jelas. Awalnya Berty menolak mengungkapkan masalah pribadinya, akan tetapi segera setelah ia menyadari bahwa tak ada yang salah dengan organ bicranya, ia mulai membuka diri pada Lionel. Disini muncul kedekatan diantara kedua yang memungkinkan proses “penyembuhan” lebih cepat dan maksimal. Metode ini sangat berbau psikoanalisis, bahkan posisi kedua bukanlah seperti psikiater dan pasien, akan tetapi lebih seperti kawan yang setara. Lionel yang dengan “lancangnya” memanggil Pangeran Albrt dengan panggilan keluarganya: Berty. Lewat proses “ngobrol” inilah Berty dapat sedikit demi sedkit membangun kepercayaan dirinya dan sedikit demi sedikit mengembangkan kemampuan orasinya. Dia terlihat kagum ketika melihat Hitler berpidato dalam “laga pemanasan” Perang dunia II. Nampaknya ia juga menyadari pentingnya retorika bagi seorang pemimpin seperti dirinya.

Lewat KS ini, penonton juga dihadapklan pada isu imperialisasi Inggris selama berabad-abad dan terlihat jejaknya pada saat ini. Sebagai imperium besar, Inggris memulai ekspansi wilayah politik sejak ratu Elizabeth (Gloriana) pada abad ke-15. Armada lautlah yang menjadi topangan militer kerajaan Inggris saat itu. Armada laut Inggris menjelajahi dunia tanpa menghiraukan “pembagian kekuasaan dunia” antara Spanyol dan Portugis yang direstui oleh Paus. Dan demikianlah, koloni Inggris berjamur diaman-mana, mulai dari benua Amerika walaupun akhirnya membangkang dan menjadi negara merdeka), Afrika, Asia, dan Autralia (termasuk wilayah Pasifik sebelah selatan). Film ini mengklaim bahwa pada tahun 1925, Inggris menguasai sekitar seperampat penduduk dunia (jadi wajarlah kalau kiranya bahsa Inggris kini menjadi lingua franca dan digunakan sebahai bahsa resmi dinegara-negar bekas kolonisasi Inggris.

Diabad 20, bisa dikatakan, hegemoni Inggris telah mapan, akan tetapi, seperti yang dikemukakan oleh Louis Athusser, kekuasaan harus didukung oleh dua perangkat (aparatus) yaitu: represive state aparatus (RSA) dan ideological state aparatus (ISA). RSA dicirikan dengan hadirnya kekuatan pemaksa seperti militer, pengadilan, dan pejara, sedangkan ISA berurusan dengan ideology (bukan hanya usme-isme tetapi juga sistem nilai/ide secara umum yang disusun secara sistematis) dicirikan dengan lembaga-lembaga budaya seperti sekolah, agama, dan media. Terlihat bahwa “pemanasan” perang dunia II diwarnai oleh publikasi dari pihak-pihak yang berseteru, dalam hal ini Kerajaan Inggris diwakili oleh BBC London. Stuart Hall, tokoh peneliti media dan budaya asal Birmingham, juga telah mensinyalir adanay kontribusi positif bari kantor berita tersebut dalam melanggengkan kolonialisasi Inggris. Pidato yang diberikan oleh King George V dan Berty bukan hanya berisi pengumuman, akan tetapi juga sebagai pembentuk wacana dan pengarah ideologi penguasa untuk melanggengkan hegemoni Inggris keseluruh penjuru dunia. Salah satu scene menarik dari KS adalah ketika George VI membacakan pidatonya dengan dibantu oleh Lionel. Didalam scene itu, bukan hanya keluarga kerajaan saja yang tegang akan tetapi juga staf penyiaran. Lalu ditampilkan pula wilayah-wilayah yang akan menangkap siaran pidato penguasa Inggris itu. Dibeberapa scene yang lain ditunjukkan segerombol orang dengan berbagai latar belakang ras) sedang khusyu’ mendengarkan pidato sang pemimpin imperuim itu.

Sebagai penutup, kiranya saya tak mampu memberi penjelasan yang melingkupi aspek sinematografi dari KS, dan itu merupakan kelemahan dalam tulisan ini. Tanggapan, tambahan, kritik, ataupun sanggahan, merupakan dialektika yang mengarah pada perkembangan yang lebih baik. Sekian.

(Hendra Nugraha)

3 Comments

Filed under Humaniora